Sel. Sep 9th, 2025
Burung dodo punah

Entah kenapa, saya selalu merasa kasihan setiap kali mendengar nama burung dodo. Bayangkan, dulu hewan ini hidup bebas di alam liar, tetapi kini manusia hanya bisa ngeliat lewat ilustrasi dan cerita. Dodo bukan hanya sekadar burung punah dia adalah simbol kegagalan manusia menjaga alam. Banyak orang menjadikan dodo sebagai lelucon karena namanya yang terdengar lucu, tapi sebenarnya kisah burung ini sama sekali tidak lucu. Malah tragis.

Opini saya sederhana manusia terlalu sering merasa paling hebat di bumi, sampai lupa bahwa makhluk lain juga punya hak hidup. Dodo tidak punah karena bencana alam atau perubahan iklim, tapi karena kehadiran manusia dan hewan yang dibawa manusia. Kita datang ke pulau mereka, membawa tikus, anjing, dan babi, lalu menyalahkan burung yang tak bisa terbang karena tidak bisa bertahan. Aneh, kan?

Yang bikin saya tambah heran, setelah burung ini punah, malah jadi bahan sindiran. Istilah “dead as a dodo” (mati kayak dodo) populer di Barat, seolah-olah dia hanya lelucon sejarah. Padahal, jika kita mau jujur, punahnya dodo adalah alarm keras bahwa kita bisa merusak alam lebih cepat daripada yang kita kira.

Baca juga artikel lainnya di serambikar

Asal-Usul dan Kehidupan Burung Dodo

Burung dodo

Burung dodo (Raphus cucullatus) dulunya hidup di Pulau Mauritius, wilayah kecil di Samudra Hindia. Burung ini unik karena tidak bisa terbang, bertubuh besar, dan punya paruh yang melengkung tajam. Ia tidak punya predator alami di pulau tersebut, jadi hidupnya relatif aman setidaknya sampai manusia datang.

Dodo tumbuh di lingkungan yang damai. Makanan utamanya adalah buah-buahan, biji-bijian, dan mungkin juga akar-akaran. Karena tidak pernah menghadapi ancaman serius, dodo pun kehilangan kemampuan untuk terbang dan menjadi lambat dalam bergerak. Sayangnya, kelemahan ini justru menjadi alasan utama mengapa mereka begitu mudah diburu dan akhirnya punah.

Baca Juga:  Warga Antusias Sambut Karnaval Mobil Hias di Cilacap 2025

Ketika bangsa Eropa mulai menjelajahi dunia dan singgah di Mauritius pada abad ke-17, mereka memperkenalkan hewan seperti babi dan monyet yang merusak sarang dodo dan memakan telurnya. Ditambah lagi, manusia mulai memburu dodo untuk makanan meski dagingnya konon tidak terlalu enak. Dalam waktu kurang dari 100 tahun sejak kontak pertama, dodo pun hilang dari muka bumi.

Dodo dalam Budaya dan Sindiran

Dodo dalam Budaya

Meski sudah punah, burung dodo malah jadi semacam tokoh pop culture. Banyak film, kartun, bahkan game yang memakai karakter dodo sebagai simbol kebodohan atau ketertinggalan zaman. Ini ironis, karena kalau dipikir-pikir, siapa sebenarnya yang bodoh? Burung yang hidup damai di habitatnya, atau makhluk yang menghancurkan spesies hanya karena lapar dan serakah?

Bahkan di dunia sains, dodo sering disebut untuk menjelaskan efek negatif dari eksploitasi ekosistem. Ia jadi contoh klasik bagaimana spesies bisa hilang total hanya karena ketidaktahuan atau ketidak pedulian manusia. Lebih menyedihkan lagi, sisa-sisa fisik dodo yang asli sangat terbatas. Ilustrasi yang kita lihat sekarang sebagian besar adalah rekonstruksi atau imajinasi, bukan dari pengamatan langsung.

Menariknya, para ilmuwan saat ini sedang mempertimbangkan kemungkinan menghidupkan kembali dodo lewat teknik rekayasa genetika, mirip dengan konsep di film Jurassic Park. Tapi apakah itu solusi, atau justru pengulangan kesalahan yang sama? Saya pribadi merasa itu seperti menambal luka lama tanpa mengobati penyebab utamanya.

Kesimpulannya Jangan Ulangi Kesalahan Masa Lalu

Dodo adalah contoh nyata bahwa ketidakseimbangan antara manusia dan alam bisa membawa bencana. Ia tidak hanya punah secara fisik, tapi juga dijadikan bahan sindiran dalam budaya populer, seolah-olah kepunahannya adalah hal yang wajar. Padahal, di balik itu semua, ada keserakahan dan kurangnya empati manusia terhadap makhluk hidup lainnya.

Baca Juga:  Apakah AI Akan Menggeser Profesi Kreatif?

Opini saya jelas dodo bukan burung bodoh, tapi korban. Kita harus berhenti menganggap punahnya spesies sebagai sesuatu yang “biasa.” Kalau hari ini kita tidak belajar dari kisah burung dodo, besok bisa saja hewan lain atau bahkan kita sendiri yang akan menghilang dari sejarah.

Sudah saatnya kita melihat kisah seperti ini bukan hanya sebagai cerita masa lalu, tapi peringatan keras. Jangan tunggu sampai anak cucu kita hanya bisa melihat gajah, harimau, atau burung langka lainnya dari buku pelajaran seperti nasib burung dodo. Kita masih punya waktu untuk menjaga keseimbangan alam, asal sadar dan mulai bertindak dari sekarang.

Baca artikel lainya di sinte.my.id untuk informasi terbarunya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *