Perkembangan kecerdasan buatan (AI) dalam beberapa tahun terakhir telah mengubah banyak sektor, termasuk industri kreatif. Padahal, sektor ini sebelumnya dianggap aman dari otomatisasi. Di tahun 2025, munculnya berbagai teknologi generatif AI seperti ChatGPT-5, MidJourney, hingga Suno telah memicu perdebatan global apakah akan menggeser profesi kreatif akan tergeser atau justru berevolusi?
AI dan Industri Seni Kolaborasi atau Kompetisi?

Bagi banyak pelaku seni, teknologi AI awalnya tampak sebagai alat bantu tambahan. Musisi dapat menggunakan AI untuk menyusun harmoni dasar lagu, ilustrator memakai AI untuk membuat konsep cepat, bahkan penulis bisa merancang struktur cerita dengan bantuan algoritma.
Namun belakangan, AI semakin canggih hingga mampu menghasilkan karya secara utuh mulai dari lagu, puisi, naskah film, hingga lukisan digital. Hal ini memicu kekhawatiran akan nasib para seniman tradisional. Sebuah laporan dari World Creative Economy Forum mencatat, sekitar 29% pekerja kreatif global mulai merasa ancaman kehilangan relevansi akibat teknologi ini.
Contohnya, sebuah rumah produksi indie di Jakarta tahun ini mulai memproduksi storyboard animasi pendek hanya dengan prompt teks, mengurangi kebutuhan ilustrator manual hingga 60%. Sementara itu, agensi konten visual di Bandung telah mengadopsi AI untuk membuat iklan animasi dalam waktu lebih singkat dan biaya lebih murah.
Masa Depan Pekerja Kreatif di Era Algoritma

Teknologi AI yang terus melesat menimbulkan pertanyaan besar apa sebenarnya masa depan profesi kreatif di tahun-tahun mendatang?
Alih-alih tergeser sepenuhnya, banyak analis berpendapat bahwa profesi kreatif akan mengalami pergeseran peran, bukan kepunahan. Seniman, penulis, dan desainer tidak akan diganti, melainkan harus menjadi “pengendali” mesin AI.
Bahkan beberapa akademi seni kini mulai mengajarkan prompt engineering sebagai bagian dari kurikulumnya yaitu kemampuan merancang perintah spesifik untuk menghasilkan karya AI berkualitas tinggi. Seperti halnya kuliner lokal yang beradaptasi, misalnya Ketoprak yang kini banyak divariasikan dengan teknik fusion modern, profesi kreatif pun dituntut untuk adaptif dalam menggunakan teknologi tanpa kehilangan karakter lokalnya.
Etika dan Hak Cipta Wilayah Abu-Abu Teknologi AI
Salah satu isu krusial dalam penetrasi AI di dunia seni adalah persoalan etika dan hak cipta. Bagaimana jika karya seni AI ternyata menggunakan referensi dari karya manusia tanpa izin? Siapa yang seharusnya mendapatkan royalti dari sebuah lagu yang dihasilkan oleh AI?
Kasus-kasus semacam ini mulai bermunculan di berbagai negara. Di Indonesia, belum ada payung hukum yang mengatur secara rinci mengenai kepemilikan karya hasil AI. Hal ini memperburuk kekhawatiran para kreator bahwa karya mereka bisa saja “dicuri” oleh algoritma tanpa kompensasi yang layak.
Beberapa asosiasi kreatif di tanah air kini mulai mendorong regulasi yang lebih jelas. Mereka juga meminta perusahaan teknologi untuk lebih transparan soal data pelatihan AI apakah melibatkan karya seniman lokal, dan apakah izin telah diberikan.
Teknologi Generatif AI 2025 Makin Pintar, Makin Kontroversial
Teknologi generatif AI tahun 2025 tidak hanya lebih cepat dan presisi, tapi juga mampu memahami konteks budaya. Misalnya, AI kini bisa membuat musik dangdut koplo dengan nuansa lokal, atau menggambar sketsa pakaian batik kontemporer.
Namun justru di sinilah letak tantangannya. Ketika AI sudah bisa meniru gaya khas budaya Indonesia, dimana batas antara plagiarisme dan inovasi?
Salah satu proyek AI generatif terbaru bahkan mampu mereplikasi suara penyanyi legendaris Indonesia hanya dari cuplikan rekaman lama. Proyek ini menuai kritik karena dianggap “mempermainkan warisan budaya”.
Ironisnya, di tengah hiruk-pikuk teknologi ini, banyak generasi muda malah memilih untuk kembali ke alam dan seni manual sebagai bentuk perlawanan terhadap dominasi digital. Wisata seni, meditasi alam, dan eksplorasi alam seperti ke Curug Jenggala justru meningkat tajam. Mereka mencari “keaslian” di tengah banjir konten artifisial.
Penutup
Apakah AI akan menggeser profesi kreatif? Jawabannya hanya jika manusia menyerah.
Jika kreator mampu menguasai teknologi, bukan hanya sebagai alat tetapi sebagai mitra, maka AI justru bisa memperluas ruang ekspresi. Namun, jika etika, hukum, dan nilai budaya diabaikan, maka kita mungkin akan melihat generasi seniman yang tidak lagi dihargai karena “mesin bisa melakukannya.”
Di tengah era yang serba otomatis, manusia justru harus menegaskan sisi paling autentiknya: rasa, empati, dan imajinasi. AI bisa meniru, tapi tidak bisa merasakan. Dan selama seni masih membutuhkan rasa, profesi kreatif akan tetap hidup.